“ CINTA UNTUK EMAK “
Assalamu’alaikum… Namaku iin. Anak ke empat dari tujuh bersaudara. Iin, Begitulah orang-orang memanggilku sejak aku kecil. Aku ingin menceritakan Curhatan hatiku. Aku terlahir dari keluarga sederhana. Bisa di bilang hidup serba kekurangan pada waktu masa kecilku. Hidup serba pas-pasan bisa membuat seseorang berbeda. Entah dari cara pandang, sikap dan juga tingkah laku. Yaaa itulah yang sering di bilang oleh ayahku tempo hari. Makanya supaya hidup sebuah keluarga menjadi tenang dan tenteram, perlu adanya perhatian khusus terhadap perekonomian. Lebih tepatnya perbaiki ekonomi terlebih dahulu. Maka yang lain akan mengikuti Namun aku sadar, hidup seseorang tidak mungkin lepas dari yang namanya kesusahan. Untuk makan sehari-hari masih harus bekerja keras cari hutangan beras. Ah betapa merananya emak dan ayah ketika masa kecilku dulu.
Emak adalah seorang ibu rumah tangga. Emak, begitulah aku memanggilnya. Jika bicara tentang emak, entah kenapa respekku sangat minim sekali. Aku bahkan tidak tau kenapa. Mungkin karna sejak masa kecilku emak sangat suka marah-marah, dan seringkali melayangkan sebuah pukulan dengan tangan atau juga dengan suatu benda seperti sapu ke arah paha dan juga kadang kepalaku. Aku merasa sangat-sangat membenci emak kala itu. Bagaimana tidak, setiap hari tidak pernah tidak lolos dari hantamannya ketika emak sedang marah. Aku benar-benar sangat benci , sampai-sampai pada suatu ketika aku duduk di bangku sekolah dasar , ketika seorang guru memberikan tes membuat karangan secara dadakan. Dan malangnya aku malah mendapatkan tema tentang Ibu. Aku tak bisa berkata sepatah katapun. Aku mencoba berpikir keras. Pikiranku buntu. Apa yang bisa aku ceritakan tentang Ibu ?? Aku bahkan tidak punya kesan yang baik dengan ibuku sendiri selain sebuah kemarahan dan dendam terhadap perlakuannya.
Perasaan itu masih terus berlanjut hingga aku duduk di bangku SMA. Aku sering bercerita tentang emak kepada salah seorang teman dekatku. Namun dia seringkali hanya menjadi pendengar setiaku. Ah aku lupa , ibunya sudah tiada. Mungkin dia tak akan berkomentar apa-apa terhadap ceritaku. Emak masih suka marah-marah terhadap apapun yang tidak sesuai kehendaknya.
Pernah suatu ketika, aku masih di bangku SMA kelas dua, aku mendapatkan peringkat pertama dan mendapatkan hadiah uang sebesar Lima puluh ribu rupiah dari sekolah. Ketika sampai di rumah, ayah menyuruku memberikan sebagian hadiahku ke emak. Aku menolak mentah-mentah. Kenapa aku harus memberikannya ? ini kan hasil kerja kerasku sendiri. Ayah menasehatiku, bahwa kesuksesan seorang anak itu tidak pernah lepas dari do’a kedua orangtua. Dan akhirnya aku mengalah. Meskipun akhirnya ayah menggantikan uang itu untuk membayar uang camping setelah ujian semester. Hatiku tidak pernah luluh meski aku mendapatkan nasehat dari ayah waktu itu. Aku masih sama, membenci kehadiran ibu. Tapi aku tak ada pilihan. Siapa yang akan memasak makanan untukku kalau bukan emak. Siapa pula yang akan mencuci pakaianku kalau bukan emak.
Kini aku sudah lulus dari bangku SMA. Ayah sudah merencanakan akan mengirimku bekerja ke sebuah kawasan industri yang ada di kawasan propinsi Banten. Dan ya… aku sudah mempersiapkan segalanya dengan di temani ayahku. Ayahku adalah segalanya. Dia yang selalu mengantarkanku ke sekolah jika ayah sedang libur berdagang. Ayahku seorang pedagang biasa di pasar. Berjualan Peci, Sajadah, tasbih dan semacamnya. Aku mulai mempersiapkan lamaran pekerjaan. Berkas-berkas sudah di lengkapi. Ayah dengan sabar menemani aku kesana kemari. Tidak perduli panas terik dan juga lelah yang setiap hari menyapanya. Karena pengorbanan ayah, aku berikrar dalam hati bahwa aku akan berusaha bekerja dengan baik dan jujur demi membantu meringankan beban ayah. Ya, itulah sumpahku kala itu.
Karena ada sesuatu hal, akhirnya keberangkatanku ke Banten tertunda sebulan, dan pada suatu malam emak mengeluh. Emak menyalahkan aku, di bilangnya aku membawa sial karena aku tak kunjung berangkat ke perantauan. Ya Allah, hatiku benar-benar sakit. Aku menangis sesenggukan semalaman. Aku merasa sangat tidak betah di rumah. Ya Allah kenapa aku tak kunjung berangkat juga. Aku benar-benar tidak tahan. Aku ingin jauh dari rumah dan jauh dari segala penderitaan ini.
Akhirnya tiba juga saat pemberangkatan. Besok pagi. Dari sore aku sudah sibuk berkemas. Sebenarnya dari beberapa hari lalu ayah sedang sakit. Mungkin karena kelelahan. Tapi kali ini masalahnya serius. Sudah setiap malam ayah mengeram kesakitan di bagian perutnya. Kakak pertamaku yang sudah menikah dan tinggal di kota Solo juga sudah menengok ke rumah. Kakak menyarankan agar ayah dibawa berobat ke rumah sakit. Namun ayah menolak. Ayah masih ingin ikhtiar pakai obat ini dan itu. Terapi ini dan itu. Namun tak kunjung sembuh. Tak terhitung berapa obat yang sudah di makan. Akhirnya malam sebelum keberangkatanku, ayah di bawa ke rumah sakit umum daerah purwodadi. Aku ikut dalam mobil mengantarkan. Kami meminjam mobil pak Lurah yang juga sudah kenal akrab dengan ayah. Emak juga ikut mendampingi. Aku malam itu harus pulang, karena adik-adik di rumah sendirian, tak ada orang dewasa yang menemani. Emak yang menunggui ayah disana.
Bagaimana dengan keberangkatanku? Aku tak tau harus bagaimana. Dan akhirnya dengan berat hati ku batalkan lagi keberangkatanku. Aku makin sedih, mungkin benar kata emak, aku anak pembawa sial. Aku kecewa berat.
Kupanjatkan do’a setiap selesai sholat untuk kesembuhan ayah. Sambil mengingat kenangan masa kecilku. Sejak kecil aku lebih sering ikut ayah dari pada Ibu. Ayah sering mengajakku ke lapangan sepak bola di desa kami. Disana aku menunggu di samping lapangan sambil melihat ayah sedang bermain sepak bola. Mungkin karena itu juga aku jadi merasa lebih nyaman jika berada di dekat ayah daripada dengan ibu.
Namun aku mulai mengerti keadaan itu ketika aku sudah memasuki dunia kerja. Aku mulai berpikir dan sadar, mungkin karena ibu waktu itu sedang repot dengan pekerjaan rumah belum lagi harus mengurusi adik-adik ku yang masih sangat kecil kala itu.
Beruntungnya saat baru memasuki dunia kerja, Allah sudah mulai memberi hidayah padaku. Allah membukakan mata hatiku yang selama ini jauh dari kata damai. Aku merasa amat sangat bersyukur. Namun ini juga tak lantas memudahkan hatiku, masih ada rasa yang menakuti hatiku. Pada awal-awal masa kerja aku mulai kerepotan mengurus diriku sendiri. Aku yang tadinya selalu mengandalkan ibu mengurus semua hal di rumah, tapi kini aku harus melakukannya sendiri. Benar-benar hal yang tidak mudah bagiku. Dari mulai mencuci baju hingga menjemur dan juga mengangkat jemuran yang sudah kering, aku terbiasa mengandalkan ibu. Bukankah ini benar-benar merupakan hal sepele untuk ukuran perempuan menjelang dewasa sepertiku?
Aku mulai merasa kahilangan sosok yang slalu ku andalkan. Berat memang, tapi aku berusaha untuk mandiri. Mengurus segalanya sendiri. Hal ini masih tak kunjung memudahkan hariku. Banyak sekali hal buruk yang ku alami. Sejak sampai ke perantauan. Aku sudah jatuh sakit, selama seminggu harus bekerja dengan tanpa tenaga. Ah… kalau seperti ini terus aku bisa langsung dipecat. Namun untuk anak baru masih di berikan toleransi. Aku masih beruntung, pasti karena do’a dari orangtua yang tak pernah putus. Selama seminggu dalam penderitaan sakit demam tinggi dan tak ada daya untuk makan apalagi berjalan. Setiap malam aku menangis merintih. Begitu menyedihkan. Serasa sudah hendak memasuki ajal. Aku menderita, merana, sengsara.
Namun tekad ku sebelum berangkat sudah bulat, ikrar ku bahwa aku akan bekerja membantu orangtuaku. Setiap bulan aku akan mengirimkan sebagian besar gaji yang kudapatkan. Setahun pertama aku juga bertekad akan selalu rajin mengisi daftar hadirku. Dan benar aku sukses dengan niat ku. Beberapa bulan sudah berlalu, dan perasaan menakutkan itu tak kunjung hilang. Masih menyerang hati dan pikiranku. Kali ini entah kenapa aku merasa amat sangat merindukan kedua orangtuaku, terutama Emak. Aneh rasanya, selama ini aku yang selalu membenci dan bahkan tanpa sadar banyak menyakiti hatinya. Banyak sekali tingkah burukku kepada Emak di waktu yang lalu.
Kemudian ketika disepertiga malam, aku mengadukan dan mencurahkan segala perasaanku pada Allah yang menguasai segala perasaan makhluk-Nya. Ku tunaikan shalat tahajjud, shalat hajat, dilanjutkan shalat Witir sebagai penutup. Setelah selesai ku tengadahkan kedua tangan, sambil terpejam tak terasa air mataku mengalir begitu deras. Lima menit berlalu air mataku masih tak berhenti mengalir. Dalam gelapnya kamar mess putri puma aku menangis sesenggukan, namun tanpa suara. Khawatir mengganggu teman sekamarku. Jika aku bisa, aku ingin sekali menangis dengan keras, karena sudah terasa sesak di dada. Disela isak tangisku terbayang semua keburukan yang aku lakukan kepada kedua orangtuaku terutama kepada Emak. Aku mulai merangkai do’a dan permintaan kepada Sang Penguasa Alam Semesta. Ini pertama kalinya aku merangkai doa dengan sangat khusyu’, menurutku.
Aku mulai memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosaku. Sambil berlinang air mata ku untai do’a demi do’a.
“Ya Allah, aku mohon ampunkan segala dosa-dosaku…dosaku sudah sangat menggunung dan tak akan bisa aku mengulang kembali waktu yang telah berlalu untuk menghapus segala dosa-dosaku”
( mulai terlintas banyak hal, dulu aku pernah ngambek saat di antar ibu ke sekolah, dan aku minta diturunkan di tikungan sebelum masuk gerbang sekolah. Aku malu karena masih di antar memakai motor empat tak jaman dulu yang suaranya berisik. Dulu aku pernah membentak balik ibu karena aku di marahi. Dulu pernah ku banting tutup panci sayur hanya karena aku sedang tak suka menu makanannya. Dulu aku pernah tidak bicara apa-apa pada ibu hanya karena setelah dia melarangku melakukan sesuatu )
Kesemua hal itu seolah menggoreskan luka di hatiku. Aku benar-benar tak bisa membayangkan perasaan Emak saat itu atas perlakuanku. Dan aku ingat betul, saat itu Emak tak pernah berkomentar apapun. Hatiku mulai meradang.
“Ya Allah, ampunkanlah dosa-dosa kedua orangtuaku,”
( Teringat kembali saat Emak menendangku karena aku lalai menjaga adikku yang masih bayi. Dia pernah memukul kepalaku dengan sebuah pisau. Dia pernah memukul kakiku dengan gagang sapu. Dia pernah membuatku sakit hati karena kata-katanya)
Kesemuanya itu memang menyakitiku, namun aku tak seharusnya membalasnya dengan keburukan. Mereka ada di dunia ini adalah sesuatu yang sangat berharga dan patut di syukuri.
“Ku ikhlaskan apa yang telah mereka lakukan, meski itu menyakitiku,. Aku tau yang mereka lakukan adalah karena sayang padaku. Ya Allah akan ku ikrarkan bahwa aku tak akan lagi membuatnya marah padaku, dan tidak pula marah kepadanya. Akan ku biarkan apa yang dia ingin lakukan. Akan ku berikan apapun yang di inginkannya, selama aku bisa memberikannya. Ya Allah, panjangkanlah umurnya agar aku bisa membahagiakannya. Biarkanlah aku hidup lebih lama agar aku bisa memberikannya apapun yang di inginkannya. Akan ku maafkan segala khilafnya, karena dia Ibuku. Karena aku tak mungkin mampu membalas segala kebaikan dan pengorbanannya”
Ini pertama kalinya aku mengikrarkan sesuatu untuk orangtuaku dan saudara-saudaraku. Sejak saat itu hatiku mulai merasakan lega. Ikhlas. Aku mulai merangkai kerelaan untuk setiap kejadian dalam hidupku. Setiap hari takkan terlewat untuk menelepon walau hanya sekedar mendengar suara mereka yang berada di kejauhan. Melegakan mendengar mereka selalu sehat dan baik-baik saja. Setiap lebaran tiba, ku belikan seperangkat baju baru beserta jilbab dan sandal untuk kedua orangtua dan juga saudara-saudaraku. Hampir semuanya ku bungkus dengan rapi seperti kado di hari lebaran. Aku merasa sanggat senang melakukannya, meski aku sendiri tak bisa menikmati apapun yang aku mau. Namun aku berjanji akan mendahulukan mereka dari pada diriku sendiri.
Segalanya untuk mereka. Seperti kisah sebuah sahabat di jaman Rasulullah SAW. Yang bernama Hatim Thayyi, bahwa jika diminta kepalapun diberikannya. Kurang lebih seperti itu yang ku lakukan. Kala itu aku juga banyak membaca tausiyah-tausiyah lewat media sosial tentang Berbakti kepada kedua orangtua, dan ini semakin mendukung keadaan. Setiap menjumpai tulisan bertema Kedua orangtua terutama ibu, air mataku selalu tak terbendung. Setiap selesai melaksanakan shalat kupanjatkan segala do’a untuk kebaikan mereka, kesehatan mereka, ini adalah sebagai wujud rasa cintaku untuk Kedua orangtuaku. Cinta untuk Emak. Cinta untuk kakak dan adikku.
Aku tau bahwa tak semua Ibu seperti Ibuku. Dulu aku sering iri dengan ibu teman-temanku karena ibunya begitu menyayanginya dan hampir tak pernah memarahinya. Namun aku sadar bahwa Allah tak kan menjadikan suatu keadaan tanpa alasan. Pasti selalu ada kebaikan di balik semua ini. Alasan mengapa Allah memberikan aku Emak seperti itu pasti akan ada kebaikan untukku juga. Dan akhirnya aku hanya mampu berbaik sangka pada Sang Pemilik Jagad Raya.
Teringat kembali dalam sebuah hadis Raasulullah SAW. Bahwa derajat Ibu tiga kali lebih lebih tinggi daripada ayah. Ibu adalah seseorang yang mengandungku selama Sembilan bulan kemudian melahirkanku dengan mempertaruhkan nyawanya. Ibu yang menyusuiku selama dua tahun meski tak kusadari saat itu karena aku masih belum mengerti. Semua hal tentang Ibu menyentuh hatiku.
Bagaikan tamparan keras mengarah ke wajahku, setiap kali aku ingat hal-hal buruk yang ku lakukan pada Emak.
Mulai saat ini ku ikrarkan janji pada yang Maha Kuasa. Akan ku cintai Emak, Bapak , kakak ,adikku. Akan kulakukan yang ku bisa. Sejujurnya, masih ada hal yang sangat ingin ku wujudkan yang ingin ke berikan pada Emak juga Bapak, yaitu memberangkatkan Emak dan Bapak melaksanakan ibadah Haji ke Tanah Suci.
Semua rasa cinta dan yang ku berikan selama ini takkan memberikan arti apa-apa. Karena masih jauh dari kata sempurna. Aku berdo’a kepada Sang Maha Kaya yang akan memberikan Rejeki padaku agar aku dapat mewujudkan mimpi besarku. Tak perduli harus seberapa pahit kehidupan yang kualami. Akan selalu ke perjuangkan agar ku dapatkan ridlo ke Kedua orangtuaku. Karena Ridlo Allah bergantung pada ridlo kedua orangtua. Berharap akan bertemu hingga ke Syurga-Nya kelak. Aamiin.
FB : Inna Injana
IG : @innainjana
YT : Miss Nay
FB : Inna Injana
IG : @innainjana
YT : Miss Nay